Oleh: Emmanuel Ariananto Waluyo Adi
AI dan hukum
Kecerdasan Buatan (AI) merujuk pada kemampuan sistem atau mesin untuk melakukan tugas yang biasanya memerlukan kecerdasan manusia. AI mencakup berbagai teknologi, mulai dari pembelajaran mesin (machine learning), pengolahan bahasa alami (natural language processing), hingga robotika dan pengenalan pola. AI berfungsi dengan cara meniru atau mengotomatiskan proses berpikir manusia, seperti belajar dari pengalaman, mengambil keputusan, dan beradaptasi dengan situasi baru tanpa instruksi langsung.
Contoh penerapan AI:
- Asisten Virtual seperti Siri, Google Assistant, atau Alexa menggunakan AI untuk memahami perintah suara manusia, mengenali pola percakapan, dan memberikan respons yang relevan.
- Mobil Otonom yang menggunakan AI untuk mendeteksi objek di sekitar, membuat keputusan berkendara, dan menavigasi jalan tanpa intervensi manusia.
- Rekomendasi Konten pada platform seperti Netflix atau Spotify, yang menggunakan AI untuk menganalisis preferensi pengguna dan memberikan saran film atau musik yang mungkin mereka sukai berdasarkan data yang dikumpulkan sebelumnya.
Korelasi AI dengan Kehidupan Manusia:
- Efisiensi dan Produktivitas: AI meningkatkan efisiensi dalam berbagai bidang, seperti dalam industri manufaktur dan layanan pelanggan, di mana otomatisasi berbasis AI dapat mengurangi waktu dan biaya. Misalnya, di sektor e-commerce, AI digunakan untuk memprediksi permintaan dan mengelola
- Kesehatan: Dalam dunia medis, AI membantu dalam diagnosis penyakit melalui analisis data medis, seperti gambar medis atau riwayat kesehatan pasien. AI juga digunakan untuk penelitian obat baru dengan menganalisis berbagai data biologis untuk menemukan kemungkinan terapi baru
- Pendidikan: AI berpotensi untuk merubah sistem pendidikan dengan menciptakan pembelajaran yang lebih personal dan interaktif. Sistem berbasis AI dapat menyesuaikan materi pelajaran dengan kemampuan setiap siswa, memberikan umpan balik yang lebih tepat waktu, dan mengidentifikasi kesulitan yang mungkin dihadapi oleh siswa.
- Pekerjaan: AI dapat menggantikan beberapa pekerjaan rutin yang dilakukan manusia, seperti pekerjaan administratif atau customer service. Namun, AI juga menciptakan peluang baru dalam bidang teknologi, seperti pengembangan dan pengelolaan sistem AI, data scientist, dan analis data
AI diharapkan dapat mempercepat proses-proses rutin seperti riset hukum, analisis kontrak, hingga peninjauan dokumen secara massal. Ini membuat banyak pekerjaan, terutama yang berfokus pada tugas administratif atau pekerjaan berulang, menjadi lebih rentan terhadap otomatisasi. Misalnya, riset hukum dan peninjauan dokumen yang dulunya memerlukan waktu lama kini dapat diselesaikan dengan cepat menggunakan alat AI. Ini mengarah pada penurunan permintaan terhadap pekerjaan-pekerjaan yang mengandalkan tugas-tugas tersebut
Namun, meskipun AI dapat menggantikan beberapa pekerjaan rutin, dampaknya terhadap profesi hukum tidak selalu bersifat menggantikan manusia sepenuhnya. AI lebih banyak berperan sebagai alat untuk meningkatkan produktivitas pengacara dengan membebaskan mereka dari tugas yang memakan waktu dan memungkinkan mereka untuk fokus pada aspek yang lebih kompleks seperti konsultasi yang memerlukan kebijaksanaan, etika, dan wawasan manusia
Berdasarkan laporan dari Princeton, sektor hukum termasuk dalam industri yang paling rentan terhadap revolusi AI, terutama dalam pekerjaan yang bersifat administratif dan junior. Di Inggris, diperkirakan terjadi “reduksi besar-besaran” pekerjaan di sektor hukum pada tahun 2030, dengan banyak pekerjaan yang berfokus pada tugas yang dapat diotomatisasi akan hilang
Beberapa sektor dalam dunia hukum yang paling terpengaruh oleh AI adalah firma hukum yang bergerak dalam bidang riset hukum, analisis kontrak, dan layanan pelanggan, di mana AI dapat berperan besar dalam otomatisasi dan efisiensi
Dampak besar dari pengenalan AI ini adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam sektor-sektor tersebut, karena teknologi ini mampu menyelesaikan tugas-tugas yang sebelumnya dilakukan oleh pengacara junior, asisten hukum, dan staf administratif
Meskipun demikian, perubahan ini membuka peluang untuk pekerjaan baru yang berfokus pada pengelolaan dan pengawasan penggunaan AI dalam praktik hukum, serta pengembangan keahlian baru di kalangan para pengacara, seperti pemahaman teknologi AI dan kemampuan untuk bekerja bersama mesin untuk menciptakan hasil hukum yang lebih efisien dan tepat
– Komparasi AI internasional
- ASEAN (Indonesia):
Di Indonesia, penggunaan AI dalam penegakan hukummelalui sistem Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) menunjukkan bagaimana AI dapat mempermudah proses hukum, seperti dalam pemantauan pelanggaran lalu lintas secara otomatis menggunakan pengenalan wajah dan pelat nomor kendaraan. Namun, penggunaan teknologi ini menimbulkan masalah terkait privasi dan transparansi, yang mengharuskan adanya peraturan yang lebih ketat untuk melindungi data pribadi masyarakat. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa pekerjaan dalam sektor hukum yang lebih administratif, seperti riset hukum dan peninjauan dokumen, akan terdampak oleh otomatisasi yang dilakukan oleh alat AI - Asia (Singapura):
Singapura menerapkan regulasi yang lebih maju terkait penggunaan AI, seperti dalam sektor kesehatandan keuangan. Namun, penggunaan AI untuk analisis data dan pembuatan keputusan otomatis menimbulkan tantangan besar dalam hal akuntabilitas dan tanggung jawab jika AI membuat keputusan yang salah. Misalnya, dalam dunia keuangan, risiko penggunaan AI dalam memberikan saran investasi bisa menyebabkan kesalahan yang merugikan konsumen. Singapura mengimplementasikan pedoman seperti FEAT Principles (Fairness, Ethics, Accountability, and Transparency) untuk mengatasi hal ini, namun masih banyak sektor yang membutuhkan pengawasan yang lebih ketat - Eropa (Uni Eropa):
Uni Eropa telah mengesahkan AI Act, yang memberikan regulasi ketat bagi AI berisiko tinggiyang digunakan dalam sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan, dan penegakan hukum. Misalnya, penggunaan AI dalam peradilan dan keamanan publik harus memenuhi standar yang sangat ketat terkait data kualitas, transparansi, dan pengawasan manusia. Hal ini bisa memengaruhi profesi hukum karena dapat mengurangi peran pengacara dalam beberapa proses yang bisa digantikan oleh AI. Misalnya, pekerjaan peninjauan kontrak atau penelitian hukum dapat digantikan oleh AI yang melakukan analisis lebih cepat dan lebih murah. Namun, AI tidak dapat menggantikan peran pengacara dalam hal penilaian hukum yang kompleks dan emosi manusia. Contoh implementasi AI dalam bidang hukum antara lain adalah penggunaan predictive analytics untuk memprediksi hasil litigasi di berbagai negara seperti di Amerika Serikat dan Eropa, yang membantu pengacara merencanakan strategi hukum lebih baik dengan analisis data historis yang lebih luas. Selain itu, di Nigeria dan beberapa negara lain, AI digunakan dalam analisis dokumen dan kontrak untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya hukum - Amerika Serikat: Di AS, tidak ada regulasi khusus untuk AI secara menyeluruh, namun terdapat berbagai peraturan sektoral yang berlaku untuk mengawasi penggunaan AI. Misalnya, Algorithmic Accountability Actyang bertujuan untuk meningkatkan transparansi dalam penggunaan algoritma, serta sejumlah inisiatif kebijakan seperti National AI Initiative Act yang bertujuan untuk mengarahkan pengembangan dan penerapan AI di berbagai sektor termasuk hukum
- Afrika (Nigeria):
Di Nigeria, penggunaan AI dalam sistem peradilanmulai diperkenalkan untuk meningkatkan efisiensi dalam pengelolaan kasus. Namun, tantangannya adalah ketergantungan pada infrastruktur teknologi yang masih terbatas, serta adanya kekhawatiran bahwa AI dapat memperburuk ketidakadilan sosial jika data yang digunakan untuk melatih AI tidak mencerminkan keadilan yang merata. Penggunaan AI untuk pengadilan jarak jauh dan proses hukum otomatis bisa menantang sistem hukum tradisional dan mengubah peran pengacara di negara ini - China: China, yang sangat agresif dalam mengembangkan AI, telah mengeluarkan berbagai peraturan yang mengatur AI, terutama yang berkaitan dengan etika penggunaan AI. Negara ini juga bekerja pada penyusunan regulasi yang lebih holistik terkait AI yang mencakup sektor hukum, untuk memastikan bahwa teknologi ini tidak menyalahi aturan yang ada dan dapat diintegrasikan dengan kebijakan hukum yang ada
– Dasar Hukum AI di Indonesia
- Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE): Di dalam Pasal 1, AI dapat dikategorikan sebagai “Agen Elektronik”, yang berarti perangkat yang beroperasi secara otomatis dan dapat membuat keputusan tanpa campur tangan manusia. Undang-Undang ini menjadi dasar hukum untuk penggunaan sistem elektronik, termasuk AI, dalam transaksi atau tindakan hukum.
- Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi: Meskipun tidak secara spesifik mengatur AI, undang-undang ini memberikan dasar hukum bagi perlindungan data pribadi yang dapat digunakan oleh AI dalam mengelola informasi hukum, seperti data klien dan informasi transaksi hukum
- Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia No. 5 Tahun 2020tentang Penyelenggaraan Sistem Elektronik: Regulasi ini mengatur lebih lanjut penyelenggaraan dan penggunaan sistem elektronik, yang mencakup perangkat-perangkat berbasis AI, dalam sektor publik maupun swasta di Indonesia
- Surat Edaran Menkominfo No. 9/2023: Sebagai tahap awal, Kominfo telah mengeluarkan Surat Edaran mengenai Etika Kecerdasan Artifisialyang mengatur tentang penggunaan AI dengan prinsip etika yang mencakup keamanan, privasi, aksesibilitas, dan kredibilitas. Namun, regulasi ini masih bersifat tidak mengikat, dan akan ada upaya untuk mengembangkan peraturan yang lebih mengikat, seperti peraturan presiden (Perpres) atau bahkan undang-undang khusus tentang AI
Stranas KA (Strategi Nasional Kecerdasan Artifisial) 2020-2045adalah rencana strategis yang diluncurkan oleh Pemerintah Indonesia pada 10 Agustus 2020, bertujuan untuk mengembangkan dan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam berbagai sektor untuk mencapai kemajuan nasional. Fokus utama dari Stranas KA adalah untuk mempercepat implementasi AI di sektor-sektor strategis yang meliputi kesehatan, pendidikan, reformasi birokrasi, ketahanan pangan, mobilitas, dan kota pintar.
Beberapa tujuan utama dari Stranas KA antara lain:
- Peningkatan kualitas hidup masyarakat: Dengan menggunakan AI untuk mempermudah akses ke pendidikan dan kesehatan, serta menciptakan layanan publik yang lebih efisien.
- Pemanfaatan AI untuk mendorong inovasi: Untuk menciptakan solusi teknologi yang dapat mengatasi berbagai tantangan di Indonesia, seperti dalam sektor pertanian dan transportasi.
- Pengembangan ekosistem AI: Menciptakan kerjasama antara pemerintah, sektor swasta, dan akademisi untuk membangun fondasi yang kuat bagi penelitian dan pengembangan AI.
Stranas KA juga menekankan pentingnya mengatasi tantangan terkait etika penggunaan AI, perlindungan data pribadi, dan penyediaan sumber daya manusia yang terampil dalam teknologi ini. Program ini diharapkan akan memberi dampak besar bagi percepatan digitalisasi di Indonesia hingga 2045
Meskipun Indonesia belum memiliki regulasi khusus untuk AI, hukum yang ada memungkinkan penegakan terhadap penyalahgunaan atau pelanggaran yang melibatkan teknologi AI
Di Indonesia, penyalahgunaan atau pelanggaran yang melibatkan teknologi AI dapat dikenai sanksi hukum berdasarkan beberapa pasal dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), terutama terkait dengan penyalahgunaan sistem elektronik. Berikut adalah beberapa pasal terkait:
- Pasal 27 Ayat (1)UU ITE: Pasal ini mengatur tentang pelarangan penyebaran informasi yang melanggar kesusilaan, penghinaan, atau pencemaran nama baik melalui media elektronik. Penggunaan AI yang digunakan untuk menyebarkan informasi yang melanggar hukum, seperti hoaks atau konten yang merugikan individu atau kelompok, dapat dikenakan sanksi pidana.
- Pasal 28 Ayat (2)UU ITE: Pasal ini menegaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi elektronik yang mengandung unsur penghinaan atau pencemaran nama baik, dapat dijerat dengan ancaman pidana. Penggunaan AI untuk melakukan tindakan ini, misalnya melalui penyebaran konten negatif secara otomatis, dapat dijerat oleh pasal ini.
- Pasal 32 Ayat (1)UU ITE: Pasal ini menyebutkan bahwa penyelenggara sistem elektronik harus memastikan bahwa sistem yang digunakan berfungsi secara aman dan tidak merugikan pihak lain. Dalam konteks AI, penyelenggara platform yang menggunakan AI untuk transaksi atau layanan harus bertanggung jawab jika sistemnya menyebabkan kerugian atau pelanggaran hukum.
- Pasal 35 UU ITE: Menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mengakses atau merusak sistem elektronik dapat dikenakan sanksi pidana. Jika teknologi AI digunakan untuk meretas atau merusak sistem data, maka pelanggaran ini dapat dijerat dengan pasal ini.
- Penegakan hukum melalui sistem tilang elektronik (ETLE) dengan teknologi pengenalan wajah di Indonesia diatur dalam beberapa regulasi, termasuk Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada Pasal 272 ayat (1) UU tersebut, disebutkan bahwa penggunaan peralatan elektronik dapat mendukung penindakan pelanggaran lalu lintas. Selain itu, teknologi ini juga dikombinasikan dengan peraturan Kepolisian yang mengatur penggunaan kamera pengenalan wajah untuk memastikan akurasi dalam identifikasi pelanggar
– Perangkat AI di bidang hukum
Perangkat AI di Bidang Hukum
AI dalam bidang hukum semakin banyak digunakan untuk mempermudah tugas administratif dan analisis hukum. Beberapa tools AI yang digunakan dalam hukum termasuk:
- Kira Systemsdan LawGeex: Alat untuk otomatisasi review kontrak yang mempercepat identifikasi klausul yang mencurigakan.
- Ravel Lawdan Casetext: Alat penelitian hukum yang memanfaatkan AI untuk menganalisis data hukum secara lebih efisien.
- AI dalam Mediasi dan Arbitrase: Platform digital yang menggunakan AI untuk mempercepat proses penyelesaian sengketa
- Lawgeex: Aplikasi ini membantu mengautomasi analisis kontrak, yang sangat berguna untuk firma hukum dalam meninjau dokumen dengan volume tinggi. Lawgeex dapat mengidentifikasi kesalahan atau kelengkapan dalam perjanjian, menghemat waktu dan biaya.
- Amto: Aplikasi AI ini membantu dalam penyusunan dokumen hukum seperti kontrak dan surat menggunakan model AI generatif. Ini berguna bagi firma hukum untuk menghasilkan template dan dokumen secara lebih efisien
- Detangle.ai: Aplikasi ini menyederhanakan jargon hukum dan dapat merangkum dokumen hukum, audio, dan video panjang ke dalam bentuk yang lebih mudah dipahami. Ini bermanfaat untuk pengacara yang membutuhkan ringkasan cepat
- Ansarada: Meskipun lebih fokus pada manajemen data untuk transaksi berisiko tinggi, Ansarada menggunakan AI untuk mengelola alur kerja dan tata kelola yang melibatkan berbagai pihak hukum
- com: Platform yang menawarkan konsultasi hukum menggunakan AI untuk memberikan rekomendasi kepada pengguna terkait masalah hukum mereka. Aplikasi ini memanfaatkan chatbot yang dapat memproses pertanyaan hukum dasar secara otomatis.
- Sistem ETLE: Sistem ini menggunakan AI untuk memantau pelanggaran lalu lintas di jalan raya secara otomatis, mengidentifikasi pelanggaran, dan mengeluarkan denda tanpa interaksi manual
– Implikasi hukum AI dalam berbagai sektor
Contoh Penggunaan AI yang Bermanfaat di Indonesia:
- Halodoc: Menggunakan AI untuk mencocokkan pasien dengan dokter spesialis yang sesuai, serta memberikan konsultasi medis secara lebih cepat dan efisien. Halodoc telah meningkatkan akses kesehatan bagi masyarakat Indonesia, terutama di daerah terpencil
- Ruangguru: Platform pendidikan yang menggunakan AI untuk memberikan rekomendasi materi belajar yang disesuaikan dengan kemampuan siswa, meningkatkan pengalaman belajar secara personal dan adaptif
- AI di Keamanan Publik: Penggunaan AI CCTVoleh kepolisian untuk memantau pelanggaran lalu lintas dan mendeteksi pelanggaran secara otomatis. Ini membantu meningkatkan keselamatan dan efisiensi penegakan hukum
– Manfaat AI dalam bidang hukum
AI memberikan manfaat besar di berbagai sektor utama yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari:
- Kesehatan: AI digunakan dalam sistem seperti IBM Watsonuntuk mendiagnosis penyakit dan mempersonalisasi perawatan. Contohnya, AI di rumah sakit untuk menganalisis citra medis dan mendeteksi penyakit lebih cepat. Penggunaan AI dalam kesehatan meningkat 40% selama 5 tahun terakhir.
- Keuangan: Alat seperti Klarnadan ChatGPT digunakan untuk mengelola keuangan pribadi, mendeteksi penipuan, dan memberikan saran investasi. Penggunaan AI di sektor keuangan diprediksi akan tumbuh 24% pada 2025.
- Transportasi: AI digunakan untuk meningkatkan sistem manajemen lalu lintas dan kendaraan otonom, dengan alat seperti Tesla Autopilot. Pada 2023, pasar kendaraan otonom yang didorong AI diperkirakan mencapai $60 miliar.
Di sektor hukum, AI membantu dalam berbagai aplikasi seperti analisis dokumen, prediksi hasil kasus, dan otomatisasi tugas administratif. Beberapa tools AI yang digunakan adalah:
- ROSS Intelligence: Memungkinkan pencarian hukum berbasis AI untuk membantu pengacara menemukan informasi relevan dengan cepat.
- LawGeex: Alat untuk menganalisis kontrak dan menemukan potensi masalah hukum.
- Luminance: Digunakan untuk audit hukum dan melakukan analisis dokumen secara otomatis.
Data penggunaan AI dalam hukum menunjukkan bahwa penggunaan alat seperti ini meningkat 40% dalam tiga tahun terakhir, dengan banyak firma hukum yang mengadopsinya untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi biaya operasional
Manfaat AI dalam Bidang Hukum
- Peningkatan Efisiensi: Otomatisasi tugas seperti penelitian hukumatau peninjauan kontrak dapat mengurangi waktu dan biaya.
- Akses Lebih Luas: AI memungkinkan masyarakat mengakses layanan hukum melalui platform online, yang membuat konsultasi hukum lebih terjangkau dan mudah dijangkau.
- Prediksi Litigasi: AI dapat menganalisis pola kasus hukum sebelumnya untuk memprediksi hasil
- Automatisasi Proses Hukum: AI dapat digunakan untuk melakukan tugas administratif seperti penyusunan kontrak atau penelitian hukum secara otomatis, mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk tugas-tugas rutin (seperti pencarian dokumen dan analisis kasus)
– Tantangan penerapan AI dalam bidang hukum
- Risiko Bias: AI dapat mengandung bias, terutama jika data yang digunakan untuk melatih sistem tidak representatif atau penuh dengan ketidaksetaraan, yang berisiko merugikan kelompok tertentu dalam proses hukum.
Untuk menghadapi perkembangan teknologi AI, Indonesia perlu melakukan beberapa perbaikan di berbagai aspek, mulai dari regulasi, kebijakan, hingga infrastruktur pendidikan dan teknologi. Beberapa area yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan adalah:
- Regulasi dan Kebijakan Terkait AI: Salah satu langkah penting yang perlu dilakukan Indonesia adalah memperbarui atau merumuskan regulasi yang lebih komprehensif terkait AI. Beberapa undang-undang yang ada saat ini, seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi(UU PDP) yang baru disahkan, perlu diperkuat dengan regulasi yang khusus mengatur AI, baik dari sisi privasi, keamanan data, maupun dampaknya terhadap lapangan pekerjaan. Pasal-pasal yang relevan di UU PDP bisa diperluas untuk mencakup teknologi AI dalam hal perlindungan data pribadi. Misalnya, Pasal 7 UU PDP yang mengatur hak subjek data untuk memberi persetujuan dalam pengumpulan dan pemrosesan data pribadi perlu mencakup secara eksplisit penggunaan data untuk algoritma AI.
- Peningkatan Pendidikan dan Keahlian dalam AI: Pendidikan tentang AI dan teknologi digital harus menjadi bagian integral dalam kurikulum di Indonesia, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Keterampilan seperti pemrograman, analisis data, dan pemahaman tentang etika AI harus diajarkan secara lebih luas. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaanperlu memperkenalkan program-program pelatihan tentang teknologi dan hukum digital untuk mempersiapkan SDM yang dapat bekerja di sektor ini.
- Pengembangan Infrastruktur Digital: Untuk mengimplementasikan teknologi AI secara efektif, Indonesia membutuhkan infrastruktur digital yang lebih baik. Hal ini mencakup penyediaan data center yang memadai, kecepatan internet yang lebih tinggi, serta sistem keamanan siber yang kuat. Tanpa infrastruktur yang memadai, implementasi AI akan menghadapi banyak tantangan.
- Peraturan Terkait Etika dan Transparansi AI: Indonesia perlu menetapkan kebijakan yang jelas mengenai etika penggunaan AI, seperti yang telah dilakukan oleh negara-negara lain. Sebagai contoh, Pasal 6 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE)mengatur tentang penggunaan teknologi informasi secara sah dan bertanggung jawab, tetapi hal ini perlu diperbarui untuk mencakup aspek etika dalam pengembangan dan penggunaan AI.
- Perlindungan Hak Pekerja yang Terpengaruh oleh AI: Salah satu dampak negatif dari AI adalah potensi pengurangan pekerjaan manusia karena otomatisasi. Indonesia perlu merumuskan kebijakan yang melindungi pekerja yang terkena dampak otomatisasi. Ini termasuk kebijakan pelatihan ulang (reskilling) dan penyesuaian pasar kerja untuk mengurangi kesenjangan yang ditimbulkan oleh AI.
- Kolaborasi dengan Sektor Swasta dan Internasional: Pemerintah perlu bekerja sama dengan sektor swasta untuk mendorong adopsi teknologi AI secara lebih luas, baik dalam sektor hukum, kesehatan, maupun pendidikan. Kolaborasi ini juga penting dalam merumuskan kebijakan yang mendukung inovasi tanpa mengabaikan aspek keamanan dan etika.
Data dan Tantangan:
Menurut laporan dari OECD pada 2023, lebih dari 50% pekerjaan di Indonesia terancam oleh otomatisasi, terutama di sektor manufaktur dan layanan. Indonesia perlu mempercepat adaptasi kebijakan untuk memitigasi dampak negatif ini dan memanfaatkan potensi AI untuk memperkuat ekonomi digital.
Perbaikan yang dibutuhkan ini harus didukung oleh kebijakan yang lebih terintegrasi dan berkelanjutan, dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, dari pemerintah, industri, hingga masyarakat luas.
Kelemahan Penggunaan AI dalam Hukum
- Pelanggaran Hak Cipta: Salah satu contoh kasus kerugian adalah gugatan yang diajukan oleh The New York Times terhadap OpenAI dan Microsoft. Dalam kasus ini, The New York Times mengklaim bahwa artikel-artikel yang diterbitkan oleh mereka telah digunakan tanpa izin untuk melatih model AI, menyebabkan kerugian finansial yang diperkirakan mencapai miliaran dolar. Hal ini menyoroti potensi masalah hak cipta yang timbul dari penggunaan AI untuk pengolahan data tanpa persetujuan eksplisit dari pemiliknya
- Isu Ketidakakuratan Data: Penggunaan AI dalam sektor hukum dapat menyebabkan ketidakakuratan data. Sebagai contoh, jika AI digunakan untuk menyusun dokumen hukum atau memberikan saran hukum, namun berdasarkan data yang salah atau tidak lengkap, maka hasilnya bisa sangat merugikan bagi klien atau pengacara yang bergantung pada informasi tersebut. Kesalahan dalam interpretasi hukum atau data juga berpotensi mengarah pada penilaian yang keliru dalam kasus hukum
privasi dan Keamanan Data: Dalam penggunaan AI, data pribadi yang digunakan dalam analisis hukum bisa terancam kebocorannya. Ini sangat penting mengingat banyak hukum di berbagai negara yang menuntut perlindungan privasi. Jika data ini disalahgunakan atau tidak dilindungi dengan benar, bisa terjadi pelanggaran hukum yang merugikan individu Pada beberapa kasus, data yang digunakan untuk melatih AI atau yang terkumpul oleh AI dapat dimanipulasi untuk merusak hasil pengenalan atau untuk mencuri informasi pribadi. Salah satu ancaman terbesar adalah teknik “adversarial machine learning,” yang memungkinkan penyerang mengelabui sistem AI agar menghasilkan keputusan yang tidak tepat atau membuka celah bagi pelanggaran data. Misalnya, dengan menyerang sistem pengenalan wajah yang kurang terjaga, penyerang bisa meniru atau mengubah wajah seseorang dalam basis data untuk menyamar atau mengakses data pribadi secara ilegal
Serangan lainnya bisa mencakup upaya meracuni dataset yang digunakan untuk melatih AI, sehingga menghasilkan kesalahan atau kerusakan pada kinerja sistem AI. Hal ini dapat membahayakan integritas dan privasi data pengguna, serta menyebabkan kerugian besar dalam sektor yang mengandalkan AI, seperti layanan kesehatan atau sektor hukum
Kehilangan Pekerjaan: Penggunaan AI untuk menggantikan tugas yang biasa dilakukan oleh pengacara atau staf administratif di firma hukum dapat mengurangi kebutuhan akan tenaga manusia untuk pekerjaan rutin Penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) diperkirakan akan mengubah lanskap dunia kerja secara signifikan. Berdasarkan laporan dari Forum Ekonomi Dunia (WEF), sekitar 83 juta pekerjaan di dunia akan hilang dalam lima tahun ke depan, sebagian besar disebabkan oleh otomatisasi dan digitalisasi yang didorong oleh AI. Sektor-sektor yang paling terdampak termasuk pekerjaan administratif, peran di sektor pabrik, perdagangan tradisional, dan keamanan. Di Indonesia, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memperkirakan bahwa sekitar 86 juta pekerjaan dapat terancam hilang akibat perkembangan pesat teknologi AI. Namun, juga diperkirakan akan muncul 69 juta pekerjaan baru di sektor-sektor yang lebih teknologis, seperti analitik big data, teknologi manajemen lingkungan, dan enkripsi serta keamanan siber
Di Indonesia, penggunaan ChatGPT mengalami peningkatan yang signifikan. Berdasarkan data dari survei Populix dan Boston Consulting Group, sekitar 52% responden di Indonesia telah menggunakan platform AI generatif seperti ChatGPT
Alat ini digunakan di berbagai sektor, termasuk bisnis dan pendidikan, untuk meningkatkan efisiensi, kreativitas, dan otomatisasi. Mayoritas pengguna menggunakan ChatGPT untuk membantu menulis konten, mencari informasi, dan berinteraksi dalam percakapan otomatis
Selain itu, 32% pengguna di Indonesia memanfaatkan AI dalam bidang kesehatan, keuangan, serta untuk mendapatkan rekomendasi produk. ChatGPT juga banyak digunakan oleh generasi muda di Indonesia untuk meningkatkan produktivitas dan mendapatkan solusi dalam pekerjaan atau pendidikan
Chat gpt
ChatGPT memiliki sejumlah kekurangan yang dapat mempengaruhi kualitas dan ketepatan informasi yang diberikan. Beberapa kelemahan utama yang perlu dipahami adalah sebagai berikut:
1. Keterbatasan Akses ke Sumber Terbaru
ChatGPT tidak dapat mengakses informasi atau sumber yang terupdate secara langsung. Saya hanya dapat mengandalkan data yang ada sampai batas waktu pelatihan saya (hingga 2021, dengan beberapa pembaruan terbaru). Oleh karena itu, saya tidak bisa memberikan informasi yang benar-benar terkini, terutama terkait dengan perubahan hukum, kebijakan publik, atau data yang baru.
2. Kesalahan dalam Penyebutan Pasal atau Regulasi
Saya mungkin tidak selalu memberikan rujukan pasal yang benar dalam konteks hukum, atau bisa memberikan informasi yang lebih umum daripada yang lebih terperinci dan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini terjadi karena saya beroperasi berdasarkan informasi yang lebih umum dan mungkin tidak selalu akurat dalam menyebutkan nomor pasal yang tepat dalam hukum. Pengguna disarankan untuk memeriksa sumber hukum yang lebih sah, seperti dokumen resmi atau berkonsultasi dengan pengacara.
3. Kesalahan dalam Penafsiran atau Penyederhanaan Informasi
Terkadang, saya bisa memberikan penafsiran yang salah atau terlalu disederhanakan terhadap suatu masalah, terutama dalam bidang yang membutuhkan nuansa atau kedalaman pemahaman, seperti hukum atau sains. Misalnya, dalam penjelasan tentang pasal hukum atau konsep-konsep kompleks lainnya, ada risiko terjadi generalisasi atau pengabaian detail penting yang seharusnya ada.
4. Ketergantungan pada Data Latihan
Semua jawaban saya berasal dari data yang digunakan untuk melatih saya. Jika ada ketidaktepatan dalam data pelatihan atau bias dalam sumber-sumber yang digunakan, hasil yang saya berikan mungkin terpengaruh. Ini bisa mengarah pada kesalahan, misinterpretasi, atau penyampaian informasi yang sudah usang.
5. Tidak Dapat Menilai Validitas atau Keandalan Sumber
Saya tidak dapat memverifikasi keandalan atau kebenaran sumber secara independen. Meskipun saya berusaha memberikan informasi yang seakurat mungkin, saya tidak dapat menjamin bahwa setiap sumber yang saya sebutkan benar-benar valid atau relevan di semua konteks. Pengguna perlu memeriksa lebih lanjut jika perlu, khususnya dalam situasi yang memerlukan akurasi tinggi.
6. Terbatas dalam Riset Mendalam
Saya tidak dapat melakukan riset secara dinamis melalui internet atau basis data yang lebih mendalam selain yang saya pelajari selama pelatihan. Untuk riset mendalam atau data spesifik yang memerlukan pencarian di berbagai sumber, saya tidak bisa menggali lebih dalam atau menyediakan hasil yang lebih komprehensif, seperti yang dilakukan oleh manusia yang memiliki akses ke berbagai platform atau jurnal ilmiah.
7. Keterbatasan dalam Memahami Konteks Emosional atau Sosial
Walaupun saya dapat memahami kata-kata dan konteks secara linguistik, saya tidak sepenuhnya mampu memahami nuansa emosional atau sosial yang ada dalam situasi tertentu. Dalam hal ini, komunikasi atau pemahaman yang melibatkan aspek emosional atau sosial seringkali bisa terabaikan atau tidak sepenuhnya akurat.
8. Kesulitan dalam Memahami atau Mengikuti Instruksi yang Kompleks
Dalam situasi di mana instruksi diberikan dengan banyak variabel atau terlalu kompleks, saya mungkin kesulitan untuk menanggapi sesuai dengan harapan Anda. Jika sebuah permintaan memerlukan banyak langkah atau memerlukan perhitungan atau analisis yang mendalam, saya mungkin tidak dapat menyelesaikannya dengan sempurna.
Secara keseluruhan, ChatGPT adalah alat yang sangat berguna dalam membantu memberikan informasi dasar atau penjelasan tentang berbagai topik. Namun, untuk topik yang lebih kompleks, teknis, atau yang membutuhkan ketelitian tinggi—seperti hukum—disarankan untuk selalu memverifikasi informasi yang diberikan dengan sumber yang lebih sah dan spesifik.
– Contoh penerapan AI di bidang hukum
Contoh Penerapan AI di Bidang Hukum
- Polisi dan Penegakan Hukum: Di Indonesia, sistem Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE)menggunakan AI untuk mengenali wajah dan pelat nomor kendaraan dalam penegakan hukum lalu lintas.
- AI dalam Mediasi dan Arbitrase: Di beberapa negara, AI digunakan dalam menyelesaikan sengketa secara otomatis atau membantu para pihak mencapai kesepakatan melalui platform digital yang didukung AI. Hal ini memungkinkan penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan efisien
Untuk sistem e-court di Indonesia, yang mulai diterapkan secara lebih intensif sejak 2019 melalui Perma 1 Tahun 2019 yang kemudian direvisi dengan Perma 7 Tahun 2022, beberapa fitur utamanya meliputi:
- E-Filing: Pendaftaran perkara secara elektronik.
- E-Payment: Pembayaran biaya perkara secara elektronik.
- E-Summon dan E-Pbt: Pemberitahuan dan pemanggilan pihak berperkara secara elektronik
- E -Litigasi: Sidang secara elektronik, memungkinkan pengiriman dokumen seperti replik, jawaban, dan kesimpulan melalui media elektronik
Sistem ini bertujuan untuk mempercepat proses administrasi perkara di pengadilan, mengurangi biaya, serta meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam proses peradilan.
E-Court di Indonesia telah berkembang pesat, dengan Mahkamah Agung (MA) memperkenalkan sistem ini pada tahun 2018 untuk mempermudah administrasi perkara perdata secara elektronik. Sistem ini memungkinkan pendaftaran perkara, pembayaran biaya perkara, serta pengiriman dokumen hukum dilakukan secara daring tanpa perlu tatap muka langsung di pengadilan. Sistem e-Court juga mencakup pemanggilan pihak yang berperkara secara elektronik, yang mempercepat dan mempermudah proses administrasi hukum.
Pada tahun 2020, selama pandemi COVID-19, e-Court mengalami lonjakan pengguna yang signifikan. Sebagai contoh, pada periode Januari hingga Mei 2020, terdapat 64.997 perkara yang didaftarkan melalui e-Court
Hingga akhir 2022, tercatat ada 281.492 pengguna terdaftar, dengan 52.135 di antaranya berasal dari kalangan advokat
Selain itu, Mahkamah Agung juga telah mengimplementasikan sistem persidangan elektronik untuk perkara pidana dan perdata, yang memungkinkan sebagian besar proses persidangan dilakukan secara daring
Adapun mekanisme pelaksanaan e-Court melibatkan beberapa tahapan, seperti pendaftaran perkara melalui aplikasi e-Filing, pembayaran melalui e-Payment, serta pemberitahuan dan pemanggilan elektronik. Semua transaksi ini hanya dapat dilakukan pada jam kerja resmi pengadilan
Untuk mengajukan permohonan kasasi, pengguna dapat melakukan pendaftaran secara elektronik melalui e-Court, dengan berbagai ketentuan waktu yang ketat untuk pengajuan dokumen dan pembayaran biaya perkara
AI dalam sistem Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE) berperan dalam memproses pelanggaran lalu lintas secara otomatis dengan menggunakan kamera pengawas. Prosesnya dimulai dengan deteksi pelanggaran oleh kamera, diikuti oleh identifikasi kendaraan menggunakan data registrasi elektronik. Pemilik kendaraan kemudian menerima surat konfirmasi untuk memastikan pelanggaran. Jika konfirmasi diterima, tilang diterbitkan dan pembayaran dilakukan melalui saluran virtual. Jika tidak, pemilik kendaraan bisa menghadapi pemblokiran STNK sementara
Pasal terkait sistem ETLE dapat ditemukan dalam UU LLAJ (Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan), khususnya Pasal 28 dan Pasal 106
Draft Peraturan yang Sedang Dicanangkan:
Untuk mengatasi tantangan tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sedang menyiapkan Peraturan Menteri (Permen) yang mengatur penggunaan AI, yang dijadwalkan akan dirilis pada Oktober 2024. Peraturan ini mencakup dua pendekatan:
- Pendekatan vertikalyang mengatur penggunaan AI berdasarkan sektor-sektor tertentu, seperti kesehatan, pendidikan, dan transportasi.
- Pendekatan horizontalyang berfokus pada prinsip dasar seperti transparansi, akuntabilitas, dan perlindungan data pribadi
– Kesimpulan
Penerapan AI di bidang hukum membawa manfaat besar dalam meningkatkan efisiensi dan akurasi, namun juga menghadirkan tantangan besar terkait etika, privasi, dan peraturan. Negara-negara seperti Uni Eropa telah lebih maju dalam menetapkan regulasi, sementara Indonesia sedang dalam proses untuk mengembangkan dasar hukum yang sesuai dengan perkembangan teknologi ini.
Setiap negara memiliki tantangan unik terkait penerapan AI di bidang hukum. Uni Eropa telah mengesahkan regulasi AI yang lebih komprehensif untuk melindungi hak-hak dasar, sedangkan Indonesia masih dalam tahap menyusun regulasi yang lebih terperinci. Peluang yang ada mencakup efisiensi dalam proses hukum dan penyelesaian sengketa yang lebih cepat. Namun, risiko terkait penyalahgunaan AI atau penerapan yang tidak adil masih menjadi masalah besar yang perlu dihadapi secara global
Solusi untuk Tantangan Penggunaan AI di Hukum
- Regulasi yang Lebih Terperinci: Perlu adanya peraturan yang lebih spesifik mengenai penggunaan AI di bidang hukum untuk melindungi hak-hak privasi dan memastikan keakuratan keputusan yang diambil oleh AI. Negara-negara seperti Uni Eropa sudah mengimplementasikan AI Act, yang memberikan pedoman untuk AI berisiko tinggi, dan ini dapat dijadikan contoh
- Peningkatan Pengawasan dan Audit Sistem AI: Sistem AI, terutama yang digunakan dalam penegakan hukum atau pengelolaan data, harus diaudit secara berkala untuk memastikan bahwa data yang digunakan tidak bias dan keputusan yang dihasilkan tetap akurat dan adil
- Edukasi dan Pelatihan Profesional Hukum: Para profesional hukum perlu dilatih dalam menggunakan teknologi AI untuk meningkatkan efisiensi dan mengurangi ketergantungan pada proses manual, sehingga mereka bisa memanfaatkan teknologi ini tanpa kehilangan kontrol atas kualitas layanan hukum
Terkait dengan pengawasan penggunaan AI, sejumlah negara di dunia kini membutuhkan tenaga kerja di sektor ini, terutama untuk memastikan bahwa teknologi tersebut digunakan secara etis dan bertanggung jawab. Di beberapa negara seperti AS, Tiongkok, dan India, pengawasan ini melibatkan beberapa jenis posisi, seperti AI Ethics Specialist, AI Policy Analyst, hingga pengawas regulasi teknologi.
- Amerika Serikat: Dalam sektor ini, beberapa posisi yang dibutuhkan mencakup AI Ethics Specialist dan AI Research Scientist. Para profesional ini bertanggung jawab untuk memastikan penggunaan AI memenuhi standar etika dan kebijakan yang ada. Lembaga-lembaga besar seperti Google dan Microsoft sering mencari kandidat yang memiliki latar belakang kuat dalam ilmu komputer, serta pemahaman yang mendalam mengenai kebijakan publik terkait teknologi
- Tiongkok: Di Tiongkok, pengawasan AI juga menjadi bagian penting dari kebijakan pemerintah yang sangat mendukung pengembangan teknologi ini. Posisi terkait di sektor ini mencakup peran seperti “AI Governance Specialist” yang mengawasi penggunaan AI dalam berbagai sektor. Biasanya, mereka diharapkan memiliki kualifikasi dalam teknik komputer serta pemahaman mendalam mengenai kebijakan pemerintah
- India: Di India, pengawasan AI berfokus pada peran seperti “AI Ethics and Policy Specialist”, yang berfokus pada penggunaan AI secara adil, mengurangi bias, dan memastikan AI digunakan dengan bijaksana. Posisi ini sering kali membutuhkan kualifikasi dalam hukum atau kebijakan publik serta pemahaman dasar mengenai teknologi AI
Dalam hal kualifikasi yang dibutuhkan, umumnya posisi-posisi ini mengharuskan kandidat untuk memiliki gelar sarjana atau pascasarjana di bidang terkait seperti ilmu komputer, hukum, atau kebijakan publik. Kemampuan dalam analisis data, pemahaman mendalam tentang etika teknologi, serta keterampilan komunikasi yang baik juga sangat diperlukan untuk peran ini.
Untuk sarjana hukum yang ingin menjadi pengawas AI atau menghadapi tantangan yang muncul terkait AI di Indonesia, beberapa sertifikasi dan kiat yang dapat diambil meliputi:
- Sertifikasi dalam Etika dan Regulasi AI: Sertifikasi ini mengajarkan tentang bagaimana menerapkan prinsip-prinsip etika dalam pengembangan dan penggunaan AI. Beberapa lembaga internasional seperti Coursera, Udemy, dan edX menawarkan kursus yang berkaitan dengan AI dan etika, seperti kursus yang mengajarkan pengawasan terhadap kebijakan AI serta dampaknya terhadap privasi, hak asasi manusia, dan hukum. Sertifikat yang relevan termasuk kursus dalam “AI for Everyone” yang ditawarkan oleh Andrew Ng (Coursera) dan “Ethics of AI and Big Data” yang ada di beberapa platform lain.
- Sertifikasi Hukum Teknologi dan Privasi Data: Program sertifikasi terkait hukum digital dan privasi data akan memberi wawasan mengenai pengaturan penggunaan data yang sangat relevan dalam konteks AI. Di Indonesia, beberapa universitas atau lembaga pelatihan juga mulai menawarkan kursus dan sertifikasi di bidang hukum siber dan privasi data, seperti yang diselenggarakan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi Teknologi Informasi (LSP-TI). Ini akan sangat berguna bagi pengawasan kebijakan AI yang melibatkan data pribadi dan keadilan.
- Keterampilan Teknologi Dasar untuk Pengawas AI: Menguasai dasar-dasar pemrograman atau analisis data bisa memberikan nilai tambah untuk memahami bagaimana AI bekerja. Sertifikasi dalam analitik data, seperti yang disediakan oleh Google Analytics Academy atau kursus dari DataCamp, dapat membantu memahami cara AI mengolah data. Meskipun tidak perlu menjadi ahli dalam pengkodean, pemahaman dasar akan memberi perspektif yang berguna untuk memeriksa potensi penyalahgunaan atau bias dalam algoritma AI.
- Kiat untuk Pengawas AI:
- Pelatihan Etika AI: Sarjana hukum dapat mengikuti pelatihan yang berfokus pada penerapan hukum dalam teknologi dan AI. Salah satu yang relevan adalah program pelatihan yang ditawarkan oleh lembaga internasional seperti The Future of Privacy Forum atau AI Now Institute.
- Mengikuti Perkembangan Teknologi: Bergabung dengan asosiasi profesional atau menghadiri seminar internasional seperti AI Ethics Forum dapat membantu memahami tantangan hukum yang berkaitan dengan teknologi ini.
- Mengikuti Perkembangan Regulasi Nasional: Memahami regulasi yang berlaku di Indonesia, seperti Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dan Rancangan Undang-Undang Teknologi Digital, sangat penting dalam menangani masalah hukum yang muncul akibat penggunaan AI.
Menjadi pengawas AI membutuhkan pemahaman yang luas mengenai teknologi dan etika, serta kemampuan untuk menginterpretasikan regulasi hukum dalam konteks AI yang terus berkembang.